Self Meditation : terima dan benahi

Sunday, January 20, 2019




Awal tahun baru 2019 pastinya menjadi hari-hari terbaik dengan energi dan semangat yang masih luar biasa karena seolah-olah kita di recharge dari satu tahun terakhir sebelumnya untuk memasuki satu tahun selanjutnya yang penuh dengan harapan serta resolusi terbaik versi diri sendiri masing-masing.


Just for sharing, I don't know about myself that at the beginning of this year. Perasaan campur aduk (kekhawatiran luar biasa, triying to control myself with temptation,dan mencoba memilah serta menolak dengan sekuat tenaga akan faktor-faktor yang akan menjadi  toxic dalam hidupku). Tidak mudah memang, apalagi untuk sesuatu yang sudah terlanjur menjadi bagian dalam hidup kita. Tapi tidak berarti bahwa kita tidak bisa melaluinya bukan? Sesimple dengan berdamai dengan diri sendiri mungkin?


Mengutip sedikit cerita dari sebuah judul buku berjudul “The Subtle Art Of Not Giving A F*ck” oleh Mark Manson, bahwa ada sebuah alkisah sekitar dua ribu lima ratus tahun lalu tinggallah di sebuah istana yang megah di kaki bukit Himalaya yang sekarang dikenal dengan Nepal, seorang raja yang menunggu kelahiran seorang putra. Terhadap anaknya ini, sang raja memiliki sebuah ide besar : ia akan membuat hidupnya sempurna. Putra mahkota tidak akan pernah mengenal apa yang disebut penderitaan, setiap kebutuhan dan keinginannya senantiasa akan selalu terpenuhi.

Raja mendirikan dinding yang tinggi mengelilingi istana untuk mencegah pangeran mengetahui dunia luar. Ia memanjakan anaknya, melimpahinya dengan makanan dan hadiah, mengelilinginya dengan para pelayan yang melayani setiap rengekannya. Dan seperti yang direncanakan, anak tersebut tumbuh tanpa mengenal kejamnya dunia manusia.
Seluruh masa kecil pangeran berjalan seperti ini. Meskipun mendapat kemewaan dan kelimpahan, pangeran ituu menjadi anak yang mudah judes. Tidak lama, setiap pengalaman terasa hampa dan tidak bernilai. Masalahnya adalah, apapun yang diberikan sang ayah tampak tidak pernah cukup, tidak pernah berarti apapun. 
Disuatu malam yang larut, pangeran menyelinap keluar istana untuk melihat apa yang ada dibalik dinding. Untuk pertama kali dalam hidupnya, pangeran melihat penderitaan manusia. Dia melihat orang sakit, orang lanjut usia, gelandangan, orang yang kesakitan, bahkan orang yang sekarat.
Si pangeran kembali ke istana dan mendapati dirinya berada dalam sejenis krisis eksistensial. Karena tidak mampu mencerna apa yang dilihatnya barusan, ia menjadi galau atas semua perkara dan banyak mengeluh dan tanpa disadari, pangeran justru menjadi seperti, bahkan melebihi ayahnya. Ia memiliki ide besar juga untuk tidak hanya melarikan diri, namun ia juga berencana untuk melepaskan kekayaannya, keluarganya, dan semua miliknya, lalu tinggal di jalanan, tidur di tempat kotor dan ia akan membuat dirinya kelaparan, tersiksa, dan mengemis makanan dari orang asing sepanjang hidupnya.    

Beberapa tahun berlalu. Lalu beberapa tahun lagi. Dan kemuudian….tidak ada yang terjadi. Sang pangeran mulai menyadari kalua hidup yang penuh penderitaan ini tidak seperti yang diharapkannya. Malahan, pangeran menemukan jenis pemahaman yang selalu ada dibenak sebagian orang : bahwa penderitaan sangat menyebalkan. Dan tidak ada maknanya juga. Sama halnya dengan kekayaan, penderitaan tidak akan bernilai jika dilakukan tanpa ada tujuan. Salah satu kesadarannya adalah ini : bahwa hidup itu sendiri adalah suatu bentuk penderitaan. Orang kaya menderita karena kekayaannya. Orang miskin menderita karena kemiskinannya. Orang yang tidak punya keluarga menderita karena mereka tak punya keluarga. Orang yang mengejar kenikmatan duniawi menderita karena kenikmatan duniawinya. Orang yang tidak merasakan kenikmatan duniawi menderita karena tidak pernah merasakannya.

Kesimpulannya, ada sistem otomatis dalam benak kita ketika dihadapkan dengan suatu masalah. Yaitu buah pikiran yang secara otomatis bahwa kita dalah makluk yang paling menderita di muka bumi ini karena tertimpa masalah tersebut. Padahal jika kita menelaah dari cerita diatas, bahwasannya sebuah masalah dalam kehidupan ini adalah normal. Dan siapapun orangnya, serta apapun keadaannya mereka semua pasti memiliki masalah masing-masing sesuai porsinya.

Jadi yang perlu kita lakukan adalah mengendalikan diri kita sendiri dengan berusaha menerima situasi sulit yang sedang kita hadapi saat ini. Mengakui dengan sepenuh hati, bahwa memang sedang terjadi “guncangan” kehidupan saat ini dan ini tidak akan terjadi selamanya. Kita hanya perlu mengoreksi, memilah mana yang harus segera diperbaiki dan mana yang harus diabaikan untuk melanjutkan kehidupan kedepannya. Don’t over thinking. Take time for yourself. Hadapi dan susun kembali

You Might Also Like

1 comments

Popular Posts

Stalk on my Facebook

Sosial Media

Labels